Do you know your best friend so well?~ 

Aku mengenal Bian sepuluh tahun yang lalu.

Dibawah lindungan pohon cerry milik panti asuhan tempatku tinggal, tanpa alas kaki, gadis mungil itu tertidur. Hal pertama yang kusimpulkan saat melihatnya adalah bahwa dia manis—bahkan saat dia mengigau—meminta ayah dan ibunya untuk tetap tinggal.

Dia bukan seseorang yang kukenal. Bukan temanku, ataupun saudaraku. Dia hanyalah seseorang yang berusaha tidur dengan nyaman bersama lingkaran hitam dibawah matanya.

Aku mendekat ketika kulihat dia membuka matanya. Dia melihatku seperti aku melihatnya. Arti tatapan kami sama—bingung.

“Kamu siapa?” Aku memberanikan diri mengekspresikan salah satu kebingunganku—membiarkan pertanyaan lain tertinggal di ujung lidah.
“Aku...aku...aku...Bian.” Dia terlihat gugup ketika akan berbicara. Bibirnya kering dan suaranya yang tercekat hampir tidak terdengar ditelingaku.

Dia tidak bertanya aku siapa. Tidak juga bertanya mengapa aku bisa berada disana. Dia hanya membiarkan segala sesuatunya terhenti—tidak berjalan sama sekali. Atau lebih tepatnya, dia memilih untuk membiarkanku tetap bingung.

“Aku, Ken.” Uluran tanganku dibalasnya dengan tangannya yang dingin disertai dengan bibirnya yang mengulum senyum.
Dia tertawa. Dan itu membuat rasa gugup diantara kami menghilang.

Sejak saat itu, aku dan Bian adalah sahabat. Sejak itu pula, Bian tinggal di panti asuhan bersamaku.
Aku tidak pernah menanyakan mengapa dia selalu tampak sendu. Tidak juga menanyakan bagaimana dia bisa sampai di tempat ini. Dia hanya berkata, bahwa dia kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas tunggal. Dia berkata, bahwa dia tidak sedih. Dia hanya merasa, bahwa dia menyesal.
Aku tidak pernah bertanya banyak mengenai dirinya. Karena aku berjanji, untuk tidak bertanya apapun mengenainya. Yang kutau hanya sebuah kenyataan, bahwa umurnya berbeda satu tahun denganku.

Terkadang, aku pikir, Bian adalah keajaiban untukku. Bersama Bian aku dapat bercerita apapun—tidak peduli itu adalah suatu hal yang aneh. Jujur saja, aku bukan seseorang yang memiliki teman di panti asuhan ini. Aku begitu tertutup, dan masih dalam lingkaran kesedihanku. Orang tuaku menitipkanku di panti asuhan ini, aku tidak pernah berpikir bahwa mereka membenciku, yang ada dipikiranku adalah bahwa mereka sulit menerimaku.

Entahlah, hari itu, Bian seperti sihir yang datang padaku. Bian mampu mengubah hal buruk dalam diriku.

Dan akupun masih ingat, perkataan terakhir yang Bian katakan pada hari itu, bahwa dia menyukai pohon cerry disamping panti asuhan kami. “Seperti seseorang yang kau kagumi, kau ingin agar dia selalu dekat denganmu. Kau ingin dia tau, bahwa kau mengaguminya. Kau ingin dia mendengarkan ceritamu, kau ingin berbagi keadaan dengannya, ketika senang, ataupun sedih. Tidak peduli apa yang terjadi, kau ingin terus melindunginya. Pohon cerry itu...aku mengaguminya.”

###

Selang waktu 5 tahun dari kejadian itu, Bian tumbuh menjadi gadis cantik berusia 15 tahun. Tidak ada yang berubah dari matanya yang bulat coklat. Rambutnya yang ikal juga tidak pernah berubah, dia masih Bian yang kutemukan dibawah pohon cerry panti asuhan.
Tidak ada satupun kerabat yang mencarinya, kurasa, itu yang membuatnya selalu tampak sendu. Setidaknya, dia butuh seorang kerabat yang datang untuknya, tetapi, tidak ada.

“Ken, sedang apa disini?”
Aku menoleh dan mendapati Bian sedang berdiri disampingku—tangan kanannya sibuk membenarkan letak jepit rambutnya.
“Aku bodoh, tidak? Aku merindukan mereka meskipun aku tau mereka tidak akan menyukainya.”
“Ken..” Bian duduk disampingku—dibawah pohon cerry, tempat favorit kami. “Kamu boleh merindukan siapapun, tidak peduli dia orang yang kamu sayang atau tidak, orang yang ingin kamu lupakan atau kamu ingat, kamu bahkan tidak dapat menahan perasaan seperti itu.”
Aku menatap Bian terkesima—bahkan, dia lebih dewasa dari umurnya. Terkadang, sebagai laki-laki, aku merasa malu karena aku menemukan kenyataan bahwa aku lebih lemah darinya.
“Bi, apa yang kamu takutkan? Sepertinya, kamu tidak takut pada apapun, ya.” Aku tertawa melihat mimik wajahnya yang berubah kesal. Tapi, seketika, dia diam. Biasanya kalau sudah seperti ini, dia tidak akan menjawab pertanyaanku. Tapi hari ini, dia menjawabnya.   
“Kehilangan.” Singkat.
Tapi, aku tidak berharap lebih untuk jawabannya—itu sudah cukup.

Hari itu, Bian terlihat aneh. Dia tidak banyak berbicara. Dia tidak menjadi pendengar yang baik untuk cerita-ceritaku. Aku ingin bertanya, tapi aku sudah berjanji.

“Bi, kalau mau cerita, aku siap. Aku memang enggak tanya kamu kenapa, tapi aku tau ada yang salah sama kamu. Sekuat apapun kamu berusaha supaya aku enggak tau, aku tetap tau, Bi.” 
Dan dia tersenyum sendu.
###

Terkadang, dia seperti seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya—sendu, juga menyedihkan.

“Ken, bagaimana jika aku pergi?”
 Pertanyaannya membuatku terpaku.
Aku tidak pernah berpikir kata perpisahan ada diantara kami. Meskipun aku tidak tau apa-apa mengenai keadaannya, tapi aku senang berteman dengannya—apapun keadaannya.
“Jangan bercanda,” Aku menarik napas lalu kembali melanjutkan kata-kataku yang tertunda. “Pergilah, maka aku tidak akan memaafkanmu.”
“Bersikaplah dewasa, Ken. Ada saat dimana aku enggak butuh kamu, dan kamu enggak butuh aku lagi. Tapi untuk sekarang, kita masih mutualisme.”
Dia tertawa, tapi ada air disudut matanya. Dia menangis. Dan ini untuk pertama kalinya aku melihat dia menangis.
“Bi, is there nothing you want to tell me? Aku selalu siap, dan kamu tau itu.”
“But I’m not ready, Ken.”
###


Sore ini, Al, teman sekamarku di panti asuhan ini bertanya mengenai aku dan Bian. Pertanyaannya sama persis dengan pertanyaan yang ditanyakan Bian tadi siang—seolah-olah Bian akan pergi jauh.
“Ken, jangan bergantung padanya. Dia bukan seseorang yang ingin dilindungi oleh orang lain, dan juga tak akan melindungimu.”
Aku mengerutkan alis—sama sekali tidak mengerti apa yang coba Al katakan.
“Maksudmu?”
“Seperti sebuah permainan yang kamu suka mainkan, kamu ingin terus memainkannya, kamu ingin mencapai kemenangan dalam permainan itu, tanpa permainan itu, kamu merasa kamu tidak akan bisa menunjukkan siapa dirimu, tidak bisa merasakan kebahagian lain selain memainkan permainan itu. Tetapi tanpa kamu sadari, kamu telah kehilangan banyak hal sia-sia untuk permainan itu. Kamu tau, kamu membuatnya seperti permainan itu, Ken. Tanpa sadar, tanpanya kamu pun enggak bisa.”
Aku terpaku sejenak—menghayati perkataan Al barusan.
Sebenarnya, ada benarnya juga perkataan Al. Aku mungkin terlalu bergantung pada Bian sehingga sulit bagiku untuk membiarkannya jauh, padahal, dia sudah ingin melepas.

Tapi, Bian adalah sumber semangatku selama ini. Terlalu tidak adil jika dia meninggalkanku sekarang, aku bahkan tidak punya penyagga lain selain Bian.
Siapa lagi yang bisa seperti Bian? Aku bahkan tidak punya teman lain selain Bian.
Bian mengajarkanku banyak hal—berusaha membuatku melupakan tentang bagaimana orang tuaku membuangku ke tempat ini, tentang bagaimana mencapai apa yang aku inginkan, tentang cita-citaku, tentang banyak hal yang tak pernah kudapatkan dari orang lain. Lantas, bagaimana bisa aku melepas orang seperti Bian?
“Al, kamu lihat Bian enggak?”
“She’s gone, Ken.”
“Kemana?” This is surprising me. Bahkan Bian tidak bercerita apa-apa kepadaku.
“This is for you. Dari Bian.”
Tanganku merampas kasar surat dari tangan Al. Tanpa sadar, airmataku mulai berjatuhan saat membacanya.
###

Ken, aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Ini tentang seorang anak perempuan yang menemukan penolong untuk hidupnya yang sendu. Ini tidak akan berakhir bahagia, jadi siapkan tissue untuk menghapus airmatamu. 

Suatu hari, orang tua seorang anak perempuan berumur 5 tahun meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang disebabkan oleh anak itu sendiri. Bagaimana bisa seorang anak berumur 5 tahun membunuh orang tuanya? Itu sama sekali tidak masuk akal.
Ketika berumur 5 tahun, anak perempuan itu hendak pergi berlibur bersama ayah dan ibunya ke pantai. Anak perempuan itu bermain dengan stir ayahnya ketika ayahnya sedang mengemudi. Ibunya sudah memperingatkannya untuk tidak bermain dengan stir tersebut, tetapi seperti kebanyakan anak kecil lainnya, anak perempuan itu, tidak ingin mendengarkan apa yang ibunya coba sampaikan. Tanpa sadar, ayahnya kehilangan kendali dan menabrak sebuah pohon besar. Semua semakin gelap ketika dia menemukan kenyataan bahwa ayah dan Ibunya sudah meninggal. Ditambah, bibinya selalu menyalahkannya atas peristiwa itu dan menyuruhnya untuk melaporkan diri ke kantor polisi.
Sejak saat itu, anak perempuan itu selalu menyebut dirinya pembunuh. Anak perempuan itu berjanji akan menyerahkan dirinya ke kantor polisi ketika dia sudah besar. Dia berjanji, untuk tidak menangis lagi. Terlebih, dia tau, bahwa sejak kecil, dia adalah seorang pembunuh. Bagaimana jika seorang pembunuh menangis? Bukankah itu sangat lucu?
Sejak saat itu, anak perempuan itu berkelana entah kemana saja. Ini mungkin tampak dramatis, tetapi dia menemukan pohon cerry yang dapat membuatnya terhibur. Dia selalu menyukai pohon cerry, tidak peduli itu menghasilkan buah yang enak atau tidak.
Dan ketika seorang anak laki-laki datang menghampirinya, dia merasa bahwa dia menemukan banyak hal dengan anak laki-laki itu. Dia tidak ingin anak laki-laki itu mengetahui kisah hidupnya dan menjauh darinya. Anak laki-laki itu sangat baik, dan mencoba menghibur anak perempuan itu dengan caranya sendiri.
Suatu hari, anak laki-laki itu bertanya apa yang anak perempuan itu takutkan. Dan anak perempuan itu menjawab dengan parau, bahwa dia sangat takut akan kehilangan.
Anak laki-laki itu tidak tau, bahwa sang anak perempuan sangat takut kehilangan anak laki-laki itu. Dia tidak tau. Sampai pada akhirnya, tibalah saatnya untuk dia pergi, dan meninggalkan anak laki-laki itu sendiri.

Ken, lupakanlah selagi kamu bisa melupakannya. Aku tau tak ada kenangan yang benar-benar bisa terlupakan. Tapi kumohon, cobalah. Aku tidak bermaksud membuatmu kehilangan lebih banyak hal lagi, kamu tau, aku bahkan tidak berani mengucapkan ini secara langsung. Aku takut, aku tidak bisa melepas semuanya.
Jangan menyesalinya, sekalipun kamu bertanya, kamu tau aku tidak akan menjawabnya. Aku begitu takut kamu terluka.
Tunggu aku, meskipun mungkin kantor polisi tak akan menerimaku, aku tidak akan kembali. Tunggu saja, kau cukup duduk manis. Jangan mencariku, aku pastikan aku yang akan menemukanmu.
Ken, dewasalah. Belajarlah, ada banyak hal lagi yang akan pergi meskipun kamu tidak memintanya pergi. Kau dan aku tau itu, aku menyayangimu sebagai sahabatku.

Bian
###

Awan menorehkan warna hitam di setiap sisinya. Langit seketika berubah gelap dan tanpa sadar, aku berlari keluar meskipun aku tau, Bian mungkin sudah menghilang. Aku berlari—tidak sedang berusaha menghindari hujan. Aku berlari menuju pohon cerry kesukaan kami berdua.
Dan aku menemukannya. Menangis sendirian. Dia menangis sejadi-jadinya, dan akupun ikut ada dalam tangisanku.
“Bi.”
Bian mengangkat kepalanya, dan terkejut melihatku disana.
“Hei, Ken.” Dia masih mencoba tersenyum dengan airmata yang terus mengalir.
“5 tahun, Bi. Apa waktu 5 tahun belum cukup untuk kamu menyembunyikan semuanya?”
Dia tertawa—dan itu membuatku terluka. Apakah ini adalah sesutau yang pantas untuk ditertawakan?
“Jangan pura-pura lagi, Bi. Emang dengan kamu pura-pura kamu bisa dapat apa? Emang dengan pura-pura kamu bisa tenang? Bahkan kepura-puraan membuat kamu tampak rapuh, Bi.”
Dia berhenti tertawa. Kembali menangis sejadi-jadinya.
”Maaf, Ken. Aku ingin memberitahumu segalanya, tapi aku pikir kamu masih terlalu polos untuk terluka.”
“Bodoh! Kalau kamu jujur, mungkin aku bisa membantumu menyelesaikannya. Kalau sudah seperti ini, aku benar-benar sulit memaafkanmu, dan memaafkan diriku sendiri.”
“Jangan menyalahkan dirimu. Dan jangan bergantung padaku, kamu ingat, kamu punya tuhan yang akan ada untukmu—bahkan disaat kamu melupakannya.”
Aku menarik Bian kedalam pelukku. Dia menangis tanpa henti.
Aku tidak menahannya pergi, karena aku tau, dia butuh waktu untuk kembali. Dia benar-benar akan pergi.

Dan kusadari, kami berpelukan ditengah hujan.
###

Usiaku 26 tahun sekarang.

10 tahun setelah kepergian Bian, aku tidak benar-benar melupakannya. Aku tidak tau sama sekali tentangnya, yang kutau, dia tidak benar-benar dipenjara. Itu kejadian tanpa sengaja oleh anak berusia 5 tahun.

Masih segar di ingatanku ketika aku dan Bian berbicara mengenai cita-cita, dan aku berkata, bahwa aku ingin menjadi orang kaya—mengumpulkan banyak sekali uang. Dia malah berkata dengan lantangnya, “Lupakan cita-citamu itu. Aku pernah membaca, orang yang disebut kaya bukanlah dia yang berhasil mengumpulkan yang paling banyak, tetapi adalah dia yang paling ‘sedikit’ memerlukan sehingga masih sangggup memberi kepada sesamanya.”
Lalu, ketika kutanya balik apa cita-citanya, dia berkata dia ingin menjadi seorang penulis. “Aku lebih suka mengekspresikan semuanya dalam bentuk tulisan dibandingkan aku harus bicara banyak.”

Berhasilkah dia menjadi penulis sekarang? Aku harap dia adalah seorang penulis terkenal sekarang.

Aku masih menunggu agar dia menemukanku. Dia mungkin masih tersesat dalam usahanya mencariku. Tapi, jika aku bertemu dengannya lagi, aku akan berkata bahwa aku sangat merindukannya—merindukan kenangan, dan pelukan ditengah hujan itu.

###

Actually, I make this short story for my writing competition. But, when I looked the list of participants, I didn’t find my name. Hmm, I was regret because I send this short story late.

Then, I’ve decided to share this short story in my blog. I hope you enjoy what I write and you know what I try to tell in this short story. Happy reading ^^

A Moment To Remember

by on October 18, 2013
Do you know your best friend so well?~   Aku mengenal Bian sepuluh tahun yang lalu. Dibawah lindungan pohon cerry milik panti ...