Anda disini.

Entah untuk berapa lama. Yang pasti, anda harus kembali bekerja di tempat yang berjarak sekitar 720 km dari tempat saya.

Sepertinya saya bahagia.
Sepertinya.

Tapi nyatanya, tidak terlalu bahagia.

Mungkin karena saya sudah lama menyerah—untuk kembali menemukan anda.

Picture is taken from: https://puzzlefactory.pl/pl/puzzle/graj/krajobrazy/126623-bajkowy-zamek-w-ogrodzie

Kutangkap kekecewaan berat pada sorot matanya sore itu.

Maka dari sanalah, percakapan kami dimulai kembali—lewat pandangan kami—setelah sekian lama berhenti pada satu titik, dimana aku menghancurkan harapan-harapannya yang seperti ledakan kembang api di malam pergantian tahun.

Awalnya, pandangannya berkata, “Bagaimana rasanya—menjalani hidup dengan terus bertanya, ‘apakah aku sudah dimaafkan’ atau ‘apakah dia masih terus merasa kecewa’?" Matanya memberi jeda, kemudian dilanjutkannya, "Pasti rasanya cukup menyenangkan.”

“Ya, lumayan.”, jawab pandanganku angkuh.

Matanya menantang mataku, kembali berargumen, “Tidakkah kau menyesal?”

Pandanganku melembut, dan malah mengajukan pertanyaan untuk menghindari pertanyaannya, 
“Bisakah kita melupakan kejadian yang lalu, saat aku meninggalkan dirimu dengan harapan yang menggebu? Bisakah, kita kembali ke awal lagi?”

“Sepertinya tidak bisa, aku ingin melihatmu terus hidup dengan pertanyaan-pertanyaan dan penyesalan.”, lirih sorot matanya.

Aku menyerah, memilih untuk lebih lembut dalam memandangnya, “Baiklah. Jika itu sebuah hukuman karena meninggalkan kekecewaan, biarkanlah kau terus menganggapku hidup seperti itu.

Dia sedikit mendekat—memperpendek jarak diantara kami yang tadinya lumayan jauh.

Pandangannya seolah berkata, “Maka ciptakanlah sebuah puisi. Tidak perlu semenakjubkan Chairil Anwar atau  Asrul Sani. Cukup berfokus pada dirimu dan kisahmu.” Kemudian, pandangannya berubah menjadi lebih lembut, “Aku percaya, pada puisimu.”

Perkataannya membuat alur balik  dari cerita awal pertengkaran kami menari-nari di ingatanku.
Puisi, yang tak kunjung kusampaikan.
Puisi, hal yang paling ingin ia dengar.
Puisi, sesuatu yang begitu dia harapkan dari diriku.

Tapi aku memilih untuk beralih, seperti memberinya jawaban paling memuakkan, “Aku sudah lama menyerah pada kata terangkai indah itu.” Dia murka.

Begitulah kami berakhir menjadi dua orang tak mengenal kini. Memilih menyapu pandangan ketika tak sengaja bertemu, atau bersembunyi di tempat lain untuk sekedar menghindar.

Tanyakanlah lagi, apa aku menyesal?

Aku tak menyesal. Sama sekali tidak.

Dan kutangkap siluet yang sama pada dirinya.

Dia pun tidak.


Percakapan Sore Itu

by on May 27, 2016
Kutangkap kekecewaan berat pada sorot matanya sore itu. Maka dari sanalah, percakapan kami dimulai kembali—lewat pandangan kami...