Sibuk.
"Hari ini jadi ngerjain tugas, gak?"
"Jalan, kuy."
"Chat gue kok gak dibales?"

Seketika diam. Dengan gak enak hati menjawab.

"Jam berapa, ya? Gue ada rapat sampai malam."
"Duh, maaf ya. Tugas gue minggu ini banyak banget. Tugas kuliah belum juga kelar. Organisasi dan kepanitiaan juga lagi hektik banget."
"Lu ada ngechat ya? Maaf ya, ketimbun mungkin chatnya."

Dan akhirnya, setiap orang selalu berakhir dengan segala urusannya. Terlalu malas untuk mencampuri urusan yang lain. Atau sebenarnya, mulai merasa takut untuk mencampurinya— takut ditolak?

Literally, that's how I feel during these three years.
Entah gue berperan sebagai yang ditolak, ataupun yang menolak.

Yang jelas, role itu berganti.
Terkadang gue yang sibuk (lebih seringnya begitu), terkadang yang ditawari pun tak punya waktu.

Suka bertanya pada diri sendiri, apa sih yang dikejar?
Rapat kesana-kesini. Pergi sebelum matahari terbit dan pulang setelah langit menjadi gelap. Bahkan setelah itu masih juga dipusingkan dengan tugas kuliah yang banyaknya luar biasa.

Interaksi kita, antar teman sedikit demi sedikit muali berkurang.
Akhirnya, tiap-tiap bawang yang dulunya sudah hampir kita kupas habis mulai membentuk lapisan baru lagi. Kita menjadi berjarak dan berakhir dengan sapaan 'saat butuh' saja.

Tapi disisi lain, berkebalikan. Kita punya banyak bawang baru. Yang siap kita kupas sedari awal lapisannya. Yang siap kita jadikan dekat dengan kita. Dan merupakan orang yang kita anggap selalu satu kapal dengan kita.

Apakah selalu, hidup menawarkan kepada kita yang datang dan pergi? Tak bisakah kita menyimpan keduanya bersamaan—di satu waktu? 

Depok, 21 Maret 2018