Untuk Seseorang dengan Jarak yang Tidak Lagi 720 km (13)

/ April 21, 2020
Rainbow Castle -Ireland Mural - Terry Donnelly| Murals Your Way

Sudah cukup lama, ya?
Sudah sekitar satu tahun yang lalu. Saat itu saya menganjurkan suatu kesepakatanyang mungkin kita setujui bersama. Bahwa kita akan berhenti mencari tau bentuk rasa dan mempercayainya sebagai sesuatu yang semu belaka. Bahwa kita akan berhenti mempertanyakan perasaan masing-masing. Bahwa tak akan ada titik temu yang harus jadi tujuan akhir.

Sejujurnya saya juga bingung kenapa saya kembali menulis tulisan tentang andapadahal saya yang menganjurkan berhenti. Aneh, kan? Saya juga merasa begitu. Tapi akan lebih aneh jika saya tidak menuliskannyaakan lebih menganggu. 

Akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu pikiran sayatentang anda.
Awalnya saya ingin mengabaikannya saja, karena sepertinya tidak tepat bagi seseorang yang sudah lama kehilangan 'wujud rasa' kembali mengingat hal tersebut. Saya sudah lupa. Saya sudah lama kehilangan. Saya sudah tidak bisa mengingat apapun tentang 'rasa' itu. Dan mengenai ini sudah saya katakan di hari terakhir kita bertemu. 

Lantas, apa? Kenapa kembali menulis? Apa yang begitu mengganggu sehingga harus dituliskan?
Anda mungkin menggumamkan pertanyaan-pertanyaan itu sekarang.

Saya akan menjelaskan semuanya dengan satu kalimat yang sangat sederhana.

Saya sudah salah langkah.

Setahun yang lalu, ketika saya menganjurkan kesepakatan berhenti saya sadar bahwa saya berada pada jalur kanan dan anda berada di kiri. Saya harus terus melangkah ke kanan-berjalan lurus tanpa menoleh ke arah anda. Tidak juga boleh berhenti. Namun sekitar tiga hari yang lalu, langkah saya terhenti. 

Sebuah podcast milik seorang wanita yang terus menunggu seorang pria yang disukainya meskipun hanya berpegang pada ekspektasi dan harapan tidak sengaja saya dengarkan. Podcast itu membuat langkah saya terhenti dan menoleh ke kirimembuat saya kembali mengingat anda.

Entah kenapa.
Saya juga tidak tau jelas cara kerjanya.
Tapi sebenarnya inti permasalahannya bukan itu. Bukan hanya itu. Kembali mengingat anda membuat saya kembali mengajukan pertanyaan,

Bentuk rasa yang tidak kita temukan jawabannya itu apa?

sekaligus pernyataan,

Bentuk rasa yang saya anggap sudah hilang itu sepertinya kembali lagi.

Rasanya saya menyesali banyak hal. Tentang podcast itu. Tentang kembali memutar memori. Tentang berhenti melangkah. Perasaan denial saya meronta.

Ini cuma sementara, kok. Nanti juga hilang lagi.

Iya, saya meyakini ini akan hilang lagi. Ini tak akan bertahan lama lagi. Tapi jauh dari itu, saya jadi berpikir, 

Sebenarnya memang pernah hilang dan tak sengaja kembali datang atau memang tidak pernah benar-benar hilang?

Dan kita kembali ke titik awal.

Rainbow Castle -Ireland Mural - Terry Donnelly| Murals Your Way

Sudah cukup lama, ya?
Sudah sekitar satu tahun yang lalu. Saat itu saya menganjurkan suatu kesepakatanyang mungkin kita setujui bersama. Bahwa kita akan berhenti mencari tau bentuk rasa dan mempercayainya sebagai sesuatu yang semu belaka. Bahwa kita akan berhenti mempertanyakan perasaan masing-masing. Bahwa tak akan ada titik temu yang harus jadi tujuan akhir.

Sejujurnya saya juga bingung kenapa saya kembali menulis tulisan tentang andapadahal saya yang menganjurkan berhenti. Aneh, kan? Saya juga merasa begitu. Tapi akan lebih aneh jika saya tidak menuliskannyaakan lebih menganggu. 

Akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu pikiran sayatentang anda.
Awalnya saya ingin mengabaikannya saja, karena sepertinya tidak tepat bagi seseorang yang sudah lama kehilangan 'wujud rasa' kembali mengingat hal tersebut. Saya sudah lupa. Saya sudah lama kehilangan. Saya sudah tidak bisa mengingat apapun tentang 'rasa' itu. Dan mengenai ini sudah saya katakan di hari terakhir kita bertemu. 

Lantas, apa? Kenapa kembali menulis? Apa yang begitu mengganggu sehingga harus dituliskan?
Anda mungkin menggumamkan pertanyaan-pertanyaan itu sekarang.

Saya akan menjelaskan semuanya dengan satu kalimat yang sangat sederhana.

Saya sudah salah langkah.

Setahun yang lalu, ketika saya menganjurkan kesepakatan berhenti saya sadar bahwa saya berada pada jalur kanan dan anda berada di kiri. Saya harus terus melangkah ke kanan-berjalan lurus tanpa menoleh ke arah anda. Tidak juga boleh berhenti. Namun sekitar tiga hari yang lalu, langkah saya terhenti. 

Sebuah podcast milik seorang wanita yang terus menunggu seorang pria yang disukainya meskipun hanya berpegang pada ekspektasi dan harapan tidak sengaja saya dengarkan. Podcast itu membuat langkah saya terhenti dan menoleh ke kirimembuat saya kembali mengingat anda.

Entah kenapa.
Saya juga tidak tau jelas cara kerjanya.
Tapi sebenarnya inti permasalahannya bukan itu. Bukan hanya itu. Kembali mengingat anda membuat saya kembali mengajukan pertanyaan,

Bentuk rasa yang tidak kita temukan jawabannya itu apa?

sekaligus pernyataan,

Bentuk rasa yang saya anggap sudah hilang itu sepertinya kembali lagi.

Rasanya saya menyesali banyak hal. Tentang podcast itu. Tentang kembali memutar memori. Tentang berhenti melangkah. Perasaan denial saya meronta.

Ini cuma sementara, kok. Nanti juga hilang lagi.

Iya, saya meyakini ini akan hilang lagi. Ini tak akan bertahan lama lagi. Tapi jauh dari itu, saya jadi berpikir, 

Sebenarnya memang pernah hilang dan tak sengaja kembali datang atau memang tidak pernah benar-benar hilang?

Dan kita kembali ke titik awal.

Continue Reading


Bunga ini mewakilkan kata-kata yang tak sempat saya ucapkan hari ini. Karena menemukan anda diantara ribuan orang di Rotunda UI dan mengumpulkan keberanian untuk memberi serta mengatakan langsung semuanya itu sulit.

Selamat sudah wisudalagi.
Terlepas dari pernyataan saya yang tak anda setujui, anda adalah orang yang luar biasa.
Anda, seseorang yang telah menyelesaikan sarjana selama kurang lebih 3,5 tahun, diterima internship di sebuah perusahaan milik negara pada tahun yang sama, ditetapkan sebagai employee 6 bulan kemudian, dan melanjutkan magister dalam kurun waktu 2 tahun. Bagi saya itu luar biasa.

Mungkin ini terlihat aneh karena saya yang sudah lama berhenti kembali menulis sebuah tulisan tentang anda. Tapi apapun bentuk rasa yang saya rasakan saat saya menulis ini, itu tidak lagi penting. Kata berhenti yang kita anjurkan bersama adalah bagian yang jauh terpisahkan dari alasan saya kembali memulai tulisan ini. Intinya, untuk menyederhanakan, meskipun kita sudah memilih berhenti mencari tau bentuk rasa dan mempercayainya sebagai sesuatu yang semu belaka, kita bukanlah orang asing yang bisa seenaknya mengabaikan rasa bahagia dari pencapaian masing-masing,

Kita mulai saja, agar tak ada memori yang kembali terkenang. Agar kita tak lagi saling melukai dengan mengajukan pertanyaan dan pernyataan tentang 'rasa' itu. Agar tak ada lagi salah paham yang harus kita luruskan bersama. 

Singkatnya, terimakasih sudah memberikan inspirasi. Terimakasih sudah memberikan saya begitu banyak, meskipun saya tidak bisa memberikan apa-apa. Terimakasih karena tak pernah bosan memberikan makna tentang mimpi dan pencapaian. Terakhir, terimakasih karena anda tak pernah sekalipun bosan menjadi 'pelangi', seperti makna nama anda. 

Sejujurnya, bunga ini tak sengaja saya beli. Saya tak sadar bila saya membeli bunga berlebih dari yang saya perlukan untuk saya berikan kepada teman-teman saya. Tapi berhubung saya ingat bahwa hari ini adalah hari dimana salah satu pencapaian hidup anda terwujud, saya mendedikasikan bunga ini untuk anda. Terlepas dari anda tidak benar-benar menerimanya, saya rasa dengan menulis ini saja anda tau bahwa saya turut bahagia akan semua hal baik yang terjadi dalam hidup anda. 

Baik, saya rasa sudah cukup.
Karena saya takut terjatuh lagi. Karena saya takut menggumam dan mempertanyakan kembali.
Mari kita lupakan saja apa yang terjadi dulu dan mulai menatap apa yang bisa kita lihat bersama kedepannya. Meskipun saya sudah kehilangan banyak 'bentuk wujud rasa' itu, saya harap saya tak pernah kehilangan rasa syukur saya bertemu dengan anda. Saya berharap kita tak perlu berpura-pura tak kenal hanya karena kita berhenti mencari jawaban atas perasaan kita masing-masing. Dan saya berharap kita bisa terus memberi ucapan bahagia atas pencapaian kita tanpa harus mempertanyakan mengapa kita melakukannya. 

Selamat sekali lagi. 
Mungkin kedepannya saya akan berhenti menulis tentang anda. Mungkin juga tidak. Karena kita tetap bukan orang asing, kan?

"Sometimes hurt is inevitable that we just have to deal with it."Kylie, Remember When by Winna Efendi

Apa benar, kita sering melukai diri kita sendirisetidaknya satu kali dalam sehari?

Pada satu keadaan, seseorang bertanya pada dirimu yang baru saja mendapat nilai D pada satu mata kuliah 4 sks.
"Are you okay?"
Berusaha menyimpan kesedihanmu karena kamu tau dirinya mendapat nilai sempurna di mata kuliah ini, kamu menjawabnya seraya tersenyum simpul.
"I'm okay. I'll promise to get better score next semester."

Di keadaan lain, pada hari yang sama, seorang wanita tengah menunggu teman-temannya di sebuah kafe kecil di tengah kota. Telah lama ia merencanakan pertemuan iniberharap semua teman yang diajaknya dapat hadir dan menghabiskan senja bersama seperti saat mereka kuliah dulu. Satu pesan datang melalui dering ponselnya.

"Maaf ya, aku gak bisa datang kali ini. Mendadak ada urusan lain."
Dua pesan.
"Aku telat deh kayaknya. Mulai duluan aja ya."
Tiga pesan.
"Oh iya, kita ketemuan ya hari ini? Maaf banget ya aku lupa. Kalau aku berangkat sekarang, masih bisa gak ya?"
Tanpa kata, ditatapnya layar ponsel itu. Selagi menenangkan hatinya yang gelisah, diketiknya sebuah pesan sederhana.
"Gapapa. Aku tunggu ya yang bisa datang. Yang gak bisa, mungkin di lain waktu kita bisa ketemu :)"

Kemudian, tepat di bangku paling ujung kafe tersebut, terlihat sekelompok ibu-ibu sosialitasedang arisan bulanan sepertinya. Awalnya, mereka tampak bahagia dengan saling melontarkan pertanyaan mengenai kabar masing-masing. Di tengah obrolan, seorang ibu berbaju merah terang dengan kalung emas melingkar di lehernya berkata,
"Lihat deh, aku baru dapat kado kalung dari suamiku. Hadiah ulang tahun."
Ibu berbaju biru yang tepat duduk di samping ibu berbaju merah membalas celetukan itu dengan tak kalah hebatnya,
"Wah, suami kamu romantis juga, ya. Tapi kemarin suamiku juga begitu. Padahal aku gak ulang tahun. Tiba-tiba kasih aku tas ini." Sebuah tas merk Hermes tampak melingkar di tangan si ibu berbaju biru.
Yang lain, samar-samar mulai tertawa kecil menanggapi keduanyasambil ikut bercerita mengenai kehebatan suami masing-masing. Namun, mereka tak sadar bahwa di tengah mereka hadir seorang wanita berbaju hitam biasa. Ia hadir tanpa kalung emas yang melingkar di lehernya, tanpa tas merk Hermes yang ditentengnya, tanpa dandanan yang amat indah untuk diperlihatkan. Sedari awal mereka bercerita mengenai suami ibu berbaju merah, ibu berbaju hitam hanya meneguk minumannya sajaikut tertawa kecil meskipun perih dalam hatinya.
Ibu berbaju hitamditinggal pergi suaminya yang sedang sibuk mencari nafkah di negri tetangga karena bisnis yang dirintisnya sejak masih muda mulai jatuh bangkrut. Dengan banyak keterpaksaan, dia harus tetap menghadiri arisan tersebut. Bukan untuk bersenang-senang, namun dengan pengharapan dapat membantu perekonomian dengan mencoba menawarkan gelang sederhana yang dibuatnya sendiri kepada teman-teman arisannya.

Tidak banyak dari kita yang mengira, dibalik kata baik-baik saja akan ada banyak kisah yang tidak terungkap, tidak terpecahkan, dan tidak pernah diceritakan.

Instead of saying "I'm not okay", people often say "I'm okay" even when they're at their worst position.
Instead of saying "You should be here. You promised before.", people often say "It's okay. We have another time"
Instead of telling that we get annoyed by other people's act, we often keep silentbecause we don't want to ruin their happiness.

Tampaknya, kita lebih suka menerima suatu keadaan dimana mereka menganggap kita punya kebahagiaan yang sama seperti mereka di hari itumeskipun nyatanya tidak. Kita lebih suka menganggap kebahagian yang mereka rasakan hari itu sama halnya dengan memberikan kita sedikit kebahagiaan juga. Kita lebih sering suka memperkeruh suasana hati ketimbang memperkeruh keadaan yang ada.

Lantas pertanyaannya, untuk apa kita melindungi diri kita dari luka akibat orang lain, kalau ternyata yang paling sering menyakiti kita adalah diri kita sendiriyang mencoba berdamai dengan hati meskipun sulit?

Sepertinya memang benar. Kita menyakiti diri kita lebih banyak ketimbang orang lain. Kita, adalah kumpulan luka yang kita buat sendiri.


Terlepas dari semua hal baik maupun hal buruk yang terjadi sampai hari ini, biarlah satu hal tetap pada tempatnya.
Semua ini hanya tentang pertambahan atau mungkin perpanjangan kesempatan.
Kesempatan untuk saling mengenal atau tidak mengenal,
Menggenggam atau melepaskan,
Bercanda atau bertengkar,
Bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi orang lain.
Sesederhana itu.

Sudah lama, kita berhenti menganggap ini adalah sesuatu yang membahagiakan.
Bukan karena kondisi yang memaksa, tapi renungan-renungan diri yang tampaknya jauh lebih penting dan berharga dibandingkan deretan kata indah penghibur lara.
Ah, terlalu rumit dipahami.
Mungkin begini saja biar lebih sederhana, kita sadari saja bersama, apa saja yang sudah kita lalui sampai hari ini?
Itu,
Hanya kita yang tau jawabannya.

Depok, 29 Oktober 2018

Hope II

by on October 29, 2018
Terlepas dari semua hal baik maupun hal buruk yang terjadi sampai hari ini, biarlah satu hal tetap pada tempatnya. Semua ini ha...

Sibuk.
"Hari ini jadi ngerjain tugas, gak?"
"Jalan, kuy."
"Chat gue kok gak dibales?"

Seketika diam. Dengan gak enak hati menjawab.

"Jam berapa, ya? Gue ada rapat sampai malam."
"Duh, maaf ya. Tugas gue minggu ini banyak banget. Tugas kuliah belum juga kelar. Organisasi dan kepanitiaan juga lagi hektik banget."
"Lu ada ngechat ya? Maaf ya, ketimbun mungkin chatnya."

Dan akhirnya, setiap orang selalu berakhir dengan segala urusannya. Terlalu malas untuk mencampuri urusan yang lain. Atau sebenarnya, mulai merasa takut untuk mencampurinya— takut ditolak?

Literally, that's how I feel during these three years.
Entah gue berperan sebagai yang ditolak, ataupun yang menolak.

Yang jelas, role itu berganti.
Terkadang gue yang sibuk (lebih seringnya begitu), terkadang yang ditawari pun tak punya waktu.

Suka bertanya pada diri sendiri, apa sih yang dikejar?
Rapat kesana-kesini. Pergi sebelum matahari terbit dan pulang setelah langit menjadi gelap. Bahkan setelah itu masih juga dipusingkan dengan tugas kuliah yang banyaknya luar biasa.

Interaksi kita, antar teman sedikit demi sedikit muali berkurang.
Akhirnya, tiap-tiap bawang yang dulunya sudah hampir kita kupas habis mulai membentuk lapisan baru lagi. Kita menjadi berjarak dan berakhir dengan sapaan 'saat butuh' saja.

Tapi disisi lain, berkebalikan. Kita punya banyak bawang baru. Yang siap kita kupas sedari awal lapisannya. Yang siap kita jadikan dekat dengan kita. Dan merupakan orang yang kita anggap selalu satu kapal dengan kita.

Apakah selalu, hidup menawarkan kepada kita yang datang dan pergi? Tak bisakah kita menyimpan keduanya bersamaan—di satu waktu? 

Depok, 21 Maret 2018




Sejujurnya pertanyaan yang agak mengganggu di semester ini adalah

"Mau lulus berapa tahun?"
"3,5 atau 4 tahun?"

Iya, dulu emang gue punya gambaran mahasiswa impian. Lulus 3,5 tahun dengan title cumlaude dan kalau bisa jadi mahasiswa berprestasi.
Tapi ternyata, ditengah proses itu gue menemukan jawaban lain dari sekedar lulus dengan iming-iming mahasiswa impian, yaitu lulus dan bertitle mahasiswa dengan pribadi yang matang.

Tidak menyalahkan mereka yang berfokus pada akademis. Tidak menyudutkan mereka yang punya gambaran mahasiswa impian. Tidak pula mempersoalkan mereka yang punya tuntutan lulus cepat (case orang tua atau biaya misalnya). Itu semua hanya tentang prinsip.

Buat gue pribadi lulus kuliah bukan hanya tentang mendapatkan ilmu yang kita tekuni saat ini, tapi juga ilmu tentang mendewasakan diri sendiri.

Gue belum merasa patut lulus kalau belum merasakan ilmu lain selain ilmu yang gue dapat di kelas. Gue merasa belum patut lulus kalau ternyata gue masih sama saja seperti diri gue ketika 3,5 atau 4 tahun yang lalu.
Itu prinsip gue loh yaa :D

Karena menurut gue, kuliah itu tetap masa transisi.
Awalnya kuliah memberi lo pelajaran mengenai diri lo yang dulunya remaja dan beranjak dewasa. Dari lo yang dulunya terbiasa dibimbing kemudian disuruh membimbing diri lo sendiri.
Kemudian semakin menaiknya tingkat, lo akan belajar lebih banyak. Hal-hal itu lah yang akan mengantarkan lo menuju dewasa.

"Tapi kan sayang, teman-teman lo yang udah lulus, udah bisa kerja. Lo masih aja di kelas bareng dosen."
"Bosen ah di kampus. Gue udah muak banget."
"Gue malu sama mahasiswa tingkat bawah. Berasa tua banget di kampus jadinya."

Sekali lagi ya, ini pendapat gue pribadi. Buat gue, umur tidak mendefenisikan kedewasaan seseorang. Gue umur segini, tapi pemikiran gue belum ada di tempat yang seharusnya. Gue udah umur segini, tapi masih punya banyak kekhawatiran untuk gagal. Gue udah umur segini, tapi gue belum tau setelah lulus gue mau apa. Masih ragu milih S2 atau kerja. 

Semua hanya masalah waktu.
Yang penting terselesaikan dengan baik. Bagaimana prosesnya, diakhiri sampai dimana, dan akan menjadi sarjana seperti apa yaa yang menentukan diri sendiri.

Semangat untuk teman-teman pejuang 3,5 tahun ^^

"Jadi mau lulus 3,5 atau 4 tahun?"

Gue cuma berharap lulus di waktu yang tepat aja :)

Opini: Kelulusan

by on March 09, 2018
Sejujurnya pertanyaan yang agak mengganggu di semester ini adalah "Mau lulus berapa tahun?" "3,5 atau 4 tahun?"...

Sudah lama kiranya sejak saya memilih tak menemui anda apalagi sekedar mencari tau kabar anda.
Terakhir kali kita bertemu, saya sudah siapkan kata-kata sakti yang diingat oleh semua orang yang berpasrah pada sebuah pilihan atau mungkin lebih tepatnya takdir.

Kalau jodoh, takkan kemana

Mungkin saya terlalu banyak menonton serial Amerika yang alur ceritanya berputar-putar layaknya roller coaster.
Tokoh utama akan dipusingkan oleh banyak pilihan, banyak masalah terhadap pasangannya, ataupun banyak kendala untuk sekedar memastikan bahwa sebenarnya, they, as a couple are endgame.

Atau mungkin sebenarnya alasan saya lebih dari sekedar serial Amerika dan nasihat lama yang tadi saya sebutkan.
Saya sudah terlalu lelah mengejar, mencari tau, serta menemukan jawaban atas perasaan saya sendiri.
Anggaplah seperti itu.

Semua baik-baik sajasebelum kemarin tak sengaja kita bertemu lagi.
Setelah drama panjang mengenai saya yang membawa printer sendirian menuju tempat service karena diturunkan tukang ojek di sembarang tempat dan drama mengenai rasa sakit pada tangan saya karena tak pernah membawa barang seberat itu pada waktu dekat sebelumnya, saya akhirnya menemukan anda.
Anda berjalan santaidengan kaos hitam dan celana jeans biru tua serta ransel hitam yang melekat di punggung anda.
Pandangan anda lurus. Dan tak ada garis senyum yang saya temukan disana.

Saya tak menyangka semuanya masih sama.
Bukan hanya tampilan dan gaya berjalan anda.
Bukan lagi hanya tentang sepatu apalagi ponsel yang anda gunakan.
Bukan.

Melainkan pertemuan kita yang layaknya tanggal 29 Februari yang datang setiap 4 tahun sekali selalu melibatkan pandangan saya yang menemukan anda terlebih dahulu.
Jika saya tak pernah melihat anda sebelumnya, mungkinkah kita saling menyapa?

Saya melemparkan senyum seadanyamemperlambat langkah dan menganalisis anda dari atas hingga bawah.
Rasanya ada satu pertanyaan yang ingin saya lemparkan, tapi tertutup rapat dan tak pernah keluar.

Namun, jika anda mengira pertanyaan terbesar saya adalah mengenai kabar anda atau bagaimana anda menjalani hari anda sampai hari ini, anda salah besar.
Pertanyaan mengenai kabar terdengar membosankan. Karena tanpa saya tanya pun, saya tau anda menjalaninya dengan cukup baik.

Tentu saja.
You always did.

Okay. Lantas, apa?
Jadi begini, saya tak tau tepatnya sejak kapan. Tapi....

Have you ever admired someone for a long time? And then you've separated from each other.
But, one day you meet again and you lose 'that' feeling?

Kurang lebih saya mengalaminya kemarin.

Sabtu, 27 Januari 2018
Jalan depan Mesjid UI
Dari saya, 
yang baru sadar jarak kita bukan lagi 720 km. 

Biarkanlah mereka bercerita
Tentang apa yang tidak bisa dirinya bagikan kepada orang lain
Tentang hidupnya yang kacau balau  karena ditinggalkan banyak orang
Tentang dirinya yang tak sanggup lagi dengan segala kepenatan yang ada
Tentang suaranya yang terbungkam karena terlalu lama  menelan kecewa

Dan jika kamu terpilih sebagai pendengar
Jangan merasa istimewa
Karena bukan itu tujuannya

Jadilah telinga dan berikan komentar secukupnya


Source Video: OfficialLEEHI

Feelings: Empty

by on January 12, 2018
Biarkanlah mereka bercerita Tentang apa yang tidak bisa dirinya bagikan kepada orang lain Tentang hidupnya yang kacau balau  karena...

Seiring waktu, aku semakin mengerti bahwa defenisi rumah untuk setiap orang akan berbeda.

Bagimu, mungkin rumah adalah tempat yang kamu huni saat ini. Tak  pernah beranjak, karena selalu ada yang menunggumu disana. Tak pernah berganti, karena kamu nyaman berada di dalamnya.
Bagi yang lain,  mungkin rumah adalah perwujudan yang lainorang misalnya. Suatu tempat mungkin terlalu besar untuk membuat rasa nyaman pada dirinya, maka  dibuatkanlah 'rumah' tempat hatinya kembali.

Akan berbeda lagi jika dirimu menanyakan defenisi rumah bagi mereka yang merasa hampa. Baginya mungkin, tak ada defenisi rumah yang spesifik. Karena yang ia rasakan hanya kekosonganketiadaan akan banyak hal.

Maka jadilah, akan banyak defenisi lain dari rumah yang diciptakan setiap pribadi.

Tapi percayalah, akan ada satu benang merah diantara banyak defenisi rumah tersebut. Satu hal yang dapat dipahami, rumah adalah tempat dirimu kembali.

Secangkir kopi di sebuah kafe dan obrolan panjang mengenai si A , si B, si C mungkin memang terasa menyenangkan.
Tidur di hotel bintang lima dengan kasur empuk dan pemanas air, disertai dengan sajian makanan yang mewah memang tampak  menggiurkan.
Tapi suatu saat, itu semua akan tampak membosankan.  Melelahkan. Tidak lagi menyenangkan.

Lantas, saat 'hujan' itu datang, kamu akan tetap butuh 'rumah'-mu untuk pulang.
Kamu butuh pulangdengan kemauanmu sendiri.
Kamu butuh ditenangkan dan butuh diberi kembali energi.

***
Tertanda, 
Saya yang sudah menemukan rumah-nya.

Feelings: A Home

by on December 15, 2017
Seiring waktu, aku semakin mengerti bahwa defenisi rumah untuk setiap orang akan berbeda. Bagimu, mungkin rumah adalah tempat yang ...

Semakin dewasa, kita akan lebih menyadari.
Memang benar mungkin, awal pertemuan takkan tampak seseorang itu seperti apa. Ibarat kulit bawang, awal pertemuan mungkin adalah lapisan pertama. Untuk dapat mengenal pedasnya, butuh dibuka lapisan-lapisan berikutnya. Semakin lama semakin pedasmatamu mulai berair. Tapi dengan begitu, kita benar-benar bisa menikmati rasanya bawang.

Seperti itulah kita mengenal manusia.

Akan ada banyak sifatnya yang kita ketahui. Yang baik maupun yang buruk. Semakin lama semakin sakit, karena akan begitu banyak kenyataan yang seperti roller costermengguncang tiap bagian tubuhmu.

Awalnya mungkin kita masih nyaman untuk memahami.
"Oh, begitu pedasnya bawang."
Lalu kita menutupi mata kita, mengeluarkan air mata, dan menjauhkan bawang itu dari pandangan. Tapi lama-kelamaan, cara kita menyangkal luka sudah habis. Sampai pada lapisan bawang terakhir, yang membawa luka itu semakin perih.

Akhir cerita si bawang?

Itu terserah sang pengupas.
Bisa saja dilemparkannya bawang itumenyerah pada keadaan karena matanya sudah terlalu perih.
Tapi bisa saja akhir yang lain yang kita ciptakan.
Tetap bertahan, karena pada akhirnya kita mendapat apa yang kita harapkan.

Kalau saya? :)


Suatu malam, seseorang menyatakan dirinya akan pergi. Seketika, semua berubah hening. Keadaan sekitar yang tadinya riuh pun tak disadari berubah sendu. 
Aku sendiri memilih untuk diam. Kalau ditanya perasaan, aku masih tidak percaya. Masih menganggap kalau ini bagian dari kejutan ulang tahun atau kejutan kecil karena dirinya baru bisa kembali bergabung setelah begitu lama menghilang tanpa kabar.

Aku tersenyum perih.
Lucu saja. 
Mana mungkin ini kejutan ulang tahun. 

Ulang tahunku jauh sudah lewat. 

Ah, berarti ini adalah kemungkinan kedua.  
Sebuah kejutan. 
Untuk diriku, karena dirinya akhirnya kembali. 

Tak ku ucapkan satu katapun hanya karena berpikir untuk membuatnya senang. Membuatnya percaya bahwa dia sudah berhasil menipuku dengan kejutannya yang tak lagi dapat kusebut "kejutan". 

Sekali lagi, aku tersenyum perih. 

Bodoh, ucapku dalam hati. 
Aku lupa bahwa dia tak pernah suka kejutan.

"Ada satu alasan. Tapi tak perlu saya sebutkan."
Padahal tak pernah aku bertanya mengapa dia ingin pergi.

"Anda harus tau kalau saya selalu bersyukur kita bertemu."
Bersyukur?
Kalau dihitung mungkin waktu pertemuan kami tak banyak. Detik yang aku habiskan dengan dia ada disampingku bahkan dapat dihitung. 
Lantas, bagaimana bisa dia bersyukur bertemu denganku? Mengenalku? 
Apakah rasa syukur yang dia miliki memang sebegitu kecilnya sehingga dia harus mengucapkan demikian? 

Aku tak mendapati lagi raut bercanda pada wajahnya. Padahal hal itu yang selalu dia lakukan ketika pertemuan kami terjadi. 

Diayang mungkin tak pernah berucap banyak, namun selalu berhasil membuat orang lain bahagia.
Diayang mungkin tak pernah memperlihatkan amarah dan tetap tersenyum, namun setengah hatinya mungkin terluka setiap dirinya diperlakukan tidak adildipojokkan dan menjadi bahan olokan.
Diayang membuatku belajar banyak. Seseorang yang membuatku selalu ingin belajar setiap pertemuan kami berakhir. Memberi pertanyaan-pertanyaan baru yang tak pernah aku tau jawabannya, namun selalu memberiku kesempatan untuk kembali belajar mengenainya. 
Diayang tak pernah berucap percaya, namun tetap mempertahankanku disisinya disaat yang lain mulai meragukan. 
Diayang sejak pertemuan pertama sudah membuatku meraguberpikir untuk mundur saja.

"Haruskah aku lanjutkan?"
"Haruskah ada pertemuan lanjutan?"
"Haruskah kuceritakan kisahku padanya?"
"Haruskah aku ada di kehidupannya?"

Namun semua ditepisnya dengan sebuah uluran tangan. Tak berucaphanya dengan sorot matanya yang layaknya berkata, 

"Ayo, kita jalani bersama. Saya tak pernah bisa janjikan perjalanan ini akan mudah. Namun, yakinlah ini akan penuh dengan pembelajaran. Maka dari itu, mari kita tumbuh dan belajar bersama. Bukankah itu menyenangkan?"

Diayang mempertahankanku karena satu kata. Bukan hanya karena tanggung jawabku untuk terus disana. Bukan hanya karena seharusnya begitulah adanya. Tapi karena satu kata yang sangat kubutuhkan saat itu.

Percaya.

Kembali ku tatap wajahnya dalam-dalam. Tak ada keraguan. Dia memang mantap menyerah. Dia memang mantap untuk tetap pergi. 
Padahal, dia yang mengajakku.
Padahal, dia yang meyakinkanku.
Padahal, dia yang membuatku untuk menjadi pribadi yang dipercaya. 

Lantas, mengapa mundur?
Haruskah begini? 

Ah. 
Baiklah.
Aku tak ingin terus mengutuk ketidakadilan yang dia berikan padaku.
Menyerah saja.
Sama sepertinya yang menyerah, padahal sudah separuh jalan terlewati.

"Terimakasih," ucapku pada akhirnya.
Dia tersenyum sendu. Seperti mengerti mengapa aku mengucapkannya padahal tak pernah kuteruskan aku berterimakasih untuk apa. 

Sedetik kemudian, dia memang pergi. Melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan pertemuan. Tak pernah kembali. Bahkan tak menoleh lagi.

Untuk dirimu yang memilih pergi, 
Mungkin kalimat-kalimat berikut tak pernah kuucapkan sebelumnya. 
Namun, terimakasih.

Terimakasih atas uluran tangannya.
Terimakasih atas pembelajaran yang diberi di setiap pertemuan.
Terimakasih sudah hadir dan percaya.
Terimakasih tak pernah menyerah membuat saya percaya diri. 

Terimakasihkarena begitu banyak kebaikan dan kebahagian yang terjadi.

Video is taken from Youtube Channel: Kellin Quinn