Scene 10 : This is the first time we talk about our feelings – Drey

“Do you have a girl beside you?”
Dane melotot kearah gue. Tapi gue gak peduli, I just want to know, kalau dia tetap mau keep that in his mind, ya gue juga gak maksa.

“Rahasia.” Dia jawab singkat, seadanya. Tapi gue bisa lihat wajahnya yang memerah ketika gue todong pertanyaan semacam itu.
”Gue anggap lo jawab kalau lo punya. Whenever you want to tell me about her, I’m ready.”
Gue kasih senyum gue yang benar-benar tulus ke dia. Gatau apa penyebabnya, Dane malah ngomong ke gue,
“We don’t have any special relationship. We’re just friends. But I think, I’m interested in her.”
“I guess, pasti cewek Indonesia.”
“Kok tau?”
“I’m your fans.” Gue tertawa namun kembali mengoreksi kalimat gue, “No, that’s not a fact.”

Hmm…

Segala sesuatu yang terjadi pertama kali, pasti menarik.

Dan ini pertama kalinya gue dan Dane bisa jadi seakrab ini. Gue gak akan pernah nyangka kalau gue bakalan nyaman hanya dengan bercerita tentang perasaan gue ke Dane. Dia sinis, tapi dia selalu bisa nunjukin kalau dia emang useful, dia beda. 

Kalau pembicaraan hari ini gak ada, gue mungkin akan menyesal karena gak pernah mengenal sisi dalam dari seorang Dane. Gue benci penyesalan.
###




Actually, this is the oldest movie I’ve ever watched. Bahkan umur film ini lebih tua daripada umur gue sendiri. Film 43 tahun yang lalu, ah benar-benar film terlama yang pernah gue tonton.

Dari awal, gue gak terlalu interested sama yang namanya old movie. Terlebih karena kesan boring yang gue simpulkan sejak awal, alasan utamanya adalah antara gue dan film lama kan beda zaman banget. :D

Tapi, setelah nonton film ini, gak kalah kok sama kisah cinta zaman sekarang, justru gue lebih interested sama yang ini. Kenapa? Don’t ask me why, sumpah, gue juga gak pernah tau apa jawabannya. Okesip, lanjut :D

Pertama kali kenal film ini dari Drama Korea “Love Rain” (tetap aja ada kaitannya dengan drama Korea :D). Dan yang buat gue tertarik adalah, kata-kata ini, “Cinta tidak perlu mengatakan maaf.”

Dan, gue percaya itu.


Meskipun lagi-lagi yang gue recommend tentang cinta, gue pastiin besok-besok gue akan recommend cerita di luar kisah percintaan. Oke sip, ini dia sinopsisnya.




Love Story
Resensi Film: Love Story (***/4)

Tahun Keluar: 1970
Negara Asal: USA
Sutradara: Arthur Hiller
Cast: Ali MacGraw, Ryan O'Neal, John Marley, Ray Milland

Plot: Sepasang muda-mudi dari strata sosial yang berbeda bertemu dan jatuh cinta dan harus menanggung segala suka duka dari cintanya itu.



Film drama romantis klasik dari tahun 1970 an. Diperankan dengan sangat kuat oleh Ali Mcgraw dan Ryan O’neal yang menjadi pasangan yang di tentang hubungannya karena perbedaan status. Dengan kisah perjuangan mereka untuk membuktikan kesungguhan mereka serta bagaimana berat nya mereka menghadapi ujian demi ujian yang kemudian berakhir tragis, namun dibalut dengan dialog yang cerdas, diiringi Komposisi musik J.S Bach serta sinematografi yang apik, bahkan untuk sekarang pun. Film ini kemudian dikemas dalam sebuah novel pada tahun 1979 oleh penulis Amerika Erich Segal.


Film ini bercerita tentang kisah cinta yang romantis dan lucu, namun juga tragis. Ini adalah kisah tentang 2 anak muda lulusan perguruan tinggi yang nekat mempertahankan cintanya meskipun harus menghadapi banyak rintangan. Oliver Barrett IV, seorang atlet Harvard dan ahli waris keluarga Barrett yang (sangat) kaya, dan Jennifer Cavilleri, putri dari seorang tukang roti di kota Rhode Island. Oliver (Ollie) dipersiapkan untuk mengikuti jejak besar ayahnya, sementara Jennifer (Jenny), mempelajari musik di Radcliffe College dan berencana untuk belajar di Paris. Berasal dari dari dunia yang sangat berbeda, Oliver dan Jenny segera saling tertarik satu sama lain dan cinta mereka semakin dalam. Cerita tentang Jenny dan Ollie adalah kisah realistis dari dua orang anak muda yang berasal dari dua dunia yang berbeda namun akhirnya menyatu.



Setelah lulus dari perguruan tinggi, kedua memutuskan untuk menikah dan melawan keinginan ayah Oliver, yang kemudian memutuskan hubungan dengan anaknya. Tanpa dukungan keuangan ayahnya, pasangan ini berjuang untuk membiayai Oliver melalui Harvard Law School. Jenny bekerja sebagai guru sekolah swasta. Lulus dengan peringkat ketiga di kelasnya, Oliver mendapatkan pekerjaan di sebuah firma hukum di kota New York. Jenny berjanji untuk mengikuti Oliver mana saja. Pasangan tersebut pun pindah ke New York City. Mereka ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama, bukan dalam bekerja dan belajar seperti yang sebelumnya. Dengan pendapatan baru Oliver, pasangan suami-istri yang berusia 24 tahun ini memutuskan untuk memiliki anak. Lalu sesuatu yang mengejutkan terjadi dalam kehidupan mereka. Setelah Jenny gagal untuk hamil, mereka berkonsultasi dengan dokter spesialis, yang setelah pemeriksaan ulang, memberitahu Oliver bahwa Jenny sedang sakit Leukimia dan akan segera meninggal dunia.



Seperti yang diperintahkan oleh dokter, Oliver mencoba untuk menjalani “kehidupan normal” tanpa memberitahu Jenny tentang kondisinya. Namun Jenny akhirnya mengetahui tentang penyakitnya. Dengan menghitung mundur hari-hari kebersamaan mereka, Jenny mulai menjalani terapi kanker yang mahal. Meskipun penghasilannya lumayan, Oliver tetap tidak mampu membayar biaya rumah sakit yang sangat besar. Dengan putus asa, ia mencari bantuan keuangan dari ayahnya. Tapi Oliver tidak memberitahu ayahnya untuk apa uang tersebut akan ia gunakan. Sementara itu, di rumah sakit, Jenny berbicara dengan ayahnya tentang pengaturan pemakaman, dan kemudian meminta untuk bertemu dengan Oliver. Dia mengatakan kepada Oliver untuk berhenti menyalahkan dirinya sendiri, dan meminta dia untuk memeluknya erat sebelum dia meninggal. Ketika Mr Barrett menyadari bahwa Jenny sedang sakit dan bahwa anaknya meminjam uang untuk pengobatan Jenny, ia segera berangkat ke New York. 



Pada saat ia mencapai rumah sakit, Jenny sudah meninggal. Mr. Barrett meminta maaf kepada anaknya, yang menjawab dengan sesuatu yang dikatakan Jenny kepadanya sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir di pelukan Oliver: “Cinta berarti tidak perlu mengatakan maaf.”