Percakapan Sore Itu
Kutangkap kekecewaan berat pada sorot matanya sore itu.
Maka dari sanalah, percakapan kami dimulai kembali—lewat pandangan
kami—setelah sekian lama berhenti pada satu titik, dimana aku menghancurkan
harapan-harapannya yang seperti ledakan kembang api di malam pergantian tahun.
Awalnya, pandangannya berkata, “Bagaimana rasanya—menjalani hidup
dengan terus bertanya, ‘apakah aku sudah dimaafkan’ atau ‘apakah dia masih
terus merasa kecewa’?" Matanya memberi jeda, kemudian dilanjutkannya,
"Pasti rasanya cukup menyenangkan.”
“Ya, lumayan.”, jawab pandanganku angkuh.
Matanya menantang mataku, kembali berargumen, “Tidakkah kau
menyesal?”
Pandanganku melembut, dan malah mengajukan pertanyaan untuk
menghindari pertanyaannya,
“Bisakah kita melupakan kejadian yang lalu, saat aku meninggalkan
dirimu dengan harapan yang menggebu? Bisakah, kita kembali ke awal lagi?”
“Sepertinya tidak bisa, aku ingin melihatmu terus hidup dengan
pertanyaan-pertanyaan dan penyesalan.”, lirih sorot matanya.
Aku menyerah, memilih untuk lebih lembut dalam memandangnya,
“Baiklah. Jika itu sebuah hukuman karena meninggalkan kekecewaan, biarkanlah
kau terus menganggapku hidup seperti itu.
Dia sedikit
mendekat—memperpendek jarak diantara kami yang tadinya lumayan jauh.
Pandangannya seolah berkata, “Maka ciptakanlah sebuah puisi. Tidak
perlu semenakjubkan Chairil Anwar atau Asrul Sani. Cukup berfokus pada
dirimu dan kisahmu.” Kemudian, pandangannya berubah menjadi lebih lembut, “Aku
percaya, pada puisimu.”
Perkataannya membuat alur balik dari cerita awal pertengkaran kami menari-nari di ingatanku.
Puisi, yang tak kunjung kusampaikan.
Puisi, hal yang paling ingin ia dengar.
Puisi, sesuatu yang begitu dia harapkan dari diriku.
Perkataannya membuat alur balik dari cerita awal pertengkaran kami menari-nari di ingatanku.
Puisi, yang tak kunjung kusampaikan.
Puisi, hal yang paling ingin ia dengar.
Puisi, sesuatu yang begitu dia harapkan dari diriku.
Tapi aku memilih untuk beralih, seperti memberinya jawaban paling
memuakkan, “Aku sudah lama menyerah pada kata terangkai indah itu.” Dia murka.
Begitulah kami berakhir menjadi dua orang tak mengenal kini.
Memilih menyapu pandangan ketika tak sengaja bertemu, atau bersembunyi di
tempat lain untuk sekedar menghindar.
Tanyakanlah lagi, apa aku menyesal?
Aku tak menyesal. Sama sekali tidak.
Dan kutangkap siluet yang sama pada dirinya.
Dia pun tidak.
No comments:
Post a Comment