Feelings: Untuk Seseorang yang Memilih Pergi
Suatu malam, seseorang menyatakan dirinya akan pergi. Seketika,
semua berubah hening. Keadaan sekitar yang tadinya riuh pun tak disadari
berubah sendu.
Aku sendiri memilih untuk diam. Kalau ditanya perasaan, aku
masih tidak percaya. Masih menganggap kalau ini bagian dari kejutan ulang tahun
atau kejutan kecil karena dirinya baru bisa kembali bergabung setelah begitu
lama menghilang tanpa kabar.
Aku tersenyum perih.
Lucu saja.
Mana mungkin ini kejutan ulang tahun.
Ulang tahunku jauh sudah lewat.
Ah, berarti ini adalah kemungkinan kedua.
Sebuah kejutan.
Untuk diriku, karena dirinya akhirnya kembali.
Tak ku ucapkan satu katapun hanya karena berpikir untuk
membuatnya senang. Membuatnya percaya bahwa dia sudah berhasil menipuku dengan
kejutannya yang tak lagi dapat kusebut "kejutan".
Sekali lagi, aku tersenyum perih.
Bodoh, ucapku dalam hati.
Aku lupa bahwa dia tak pernah suka kejutan.
"Ada satu alasan. Tapi tak perlu saya sebutkan."
Padahal tak pernah aku bertanya mengapa dia ingin pergi.
"Anda harus tau kalau saya selalu bersyukur kita bertemu."
Bersyukur?
Kalau dihitung mungkin waktu pertemuan kami tak banyak. Detik
yang aku habiskan dengan dia ada disampingku bahkan dapat dihitung.
Lantas, bagaimana bisa dia bersyukur bertemu denganku?
Mengenalku?
Apakah rasa syukur yang dia miliki memang sebegitu kecilnya
sehingga dia harus mengucapkan demikian?
Aku tak mendapati lagi raut bercanda pada wajahnya. Padahal hal itu yang selalu dia lakukan ketika pertemuan kami terjadi.
Dia—yang mungkin tak pernah berucap banyak, namun selalu
berhasil membuat orang lain bahagia.
Dia—yang mungkin tak pernah memperlihatkan amarah dan tetap
tersenyum, namun setengah hatinya mungkin terluka setiap dirinya diperlakukan
tidak adil—dipojokkan dan menjadi bahan olokan.
Dia—yang membuatku belajar banyak. Seseorang yang membuatku
selalu ingin belajar setiap pertemuan kami berakhir. Memberi
pertanyaan-pertanyaan baru yang tak pernah aku tau jawabannya, namun selalu
memberiku kesempatan untuk kembali belajar mengenainya.
Dia—yang tak pernah berucap percaya, namun tetap mempertahankanku
disisinya disaat yang lain mulai meragukan.
Dia—yang sejak pertemuan pertama sudah membuatku meragu—berpikir
untuk mundur saja.
"Haruskah aku lanjutkan?"
"Haruskah ada pertemuan lanjutan?"
"Haruskah kuceritakan kisahku padanya?"
"Haruskah aku ada di kehidupannya?"
Namun semua ditepisnya dengan sebuah uluran tangan. Tak berucap—hanya
dengan sorot matanya yang layaknya berkata,
"Ayo, kita jalani bersama. Saya tak pernah bisa janjikan
perjalanan ini akan mudah. Namun, yakinlah ini akan penuh dengan pembelajaran.
Maka dari itu, mari kita tumbuh dan belajar bersama. Bukankah itu menyenangkan?"
Dia—yang mempertahankanku karena satu kata. Bukan hanya karena
tanggung jawabku untuk terus disana. Bukan hanya karena seharusnya begitulah
adanya. Tapi karena satu kata yang sangat kubutuhkan saat itu.
Percaya.
Kembali ku tatap wajahnya dalam-dalam. Tak ada keraguan. Dia
memang mantap menyerah. Dia memang mantap untuk tetap pergi.
Padahal, dia yang mengajakku.
Padahal, dia yang meyakinkanku.
Padahal, dia yang membuatku untuk menjadi pribadi yang
dipercaya.
Lantas, mengapa mundur?
Haruskah begini?
Ah.
Baiklah.
Aku tak ingin terus mengutuk ketidakadilan yang dia berikan
padaku.
Menyerah saja.
Sama sepertinya yang menyerah, padahal sudah separuh jalan
terlewati.
"Terimakasih," ucapku pada akhirnya.
Dia tersenyum sendu. Seperti mengerti mengapa aku
mengucapkannya padahal tak pernah kuteruskan aku berterimakasih untuk apa.
Sedetik kemudian, dia memang pergi. Melangkahkan kakinya
meninggalkan ruangan pertemuan. Tak pernah kembali. Bahkan tak menoleh lagi.
Untuk dirimu yang memilih pergi,
Mungkin kalimat-kalimat berikut tak pernah kuucapkan sebelumnya.
Namun, terimakasih.
Terimakasih atas uluran tangannya.
Terimakasih atas pembelajaran yang diberi di setiap pertemuan.
Terimakasih sudah hadir dan percaya.
Terimakasih tak pernah menyerah membuat saya percaya diri.
Video is taken from
Youtube Channel: Kellin Quinn
No comments:
Post a Comment